Resep Tempe Bacem

December 25, 2011

tempe adalah salah satu makanan kesukaan saya, baik digoreng, dibacem, ataupun dioseng manis pedas. tapi tempe ini kalah set jika dibanding tahu. tahu, yang enak semacam tahu tauhid, cibuntu, yunyi, yunsen; cukup digoreng sebentar sudah enak. lha kalo tempe, harus dioprek dulu. dibuat oseng tempe pun, saya gunakan bawang bombay dan gula merah agak boros biar manisnya itu manis enak; tidak cukup kecap saja hehehe seperti di iklan kecap :D.

nah dibacem lah yang paling enak menurut saya. tetapi tidak semua tempe bacem enak, yang enak buat saya (dan mas) ya yang manis dan gurih sesuai selera kami, dan itu pasti bumbunya harus banyak. kadang dipikir, harga tempenya tidak seberapa, harga bumbu juga mungkin tidak seberapa; tetapi kalo digabungkan, ya jadi beberapa :D. begitulah risiko memasak, tidak menjadi lebih murah hehehe karena perlu bahan-bahan yang pas, belum lagi kalo mau hitung2an soal gas dan waktu. lha tapi ngapain masak tetapi tidak enak 😛 dan kalo mau enak, ya pasti boros bumbu.  kalo mau praktis, masaklah dalam jumlah besar, nah tempe bacem ini bisa disisihkan ke kulkas dan baru digoreng singkat jika hendak disantap. jadi buatlah langsung beberapa resep hehehe; kayak mau masak buat hajatan.

omong-omong resepnya, pernah nih dapat resep yang benar2 cocok, artinya manisnya pas gurihnya; tempenya terasa enak. sayang, lupa tidak diarsipan :P. lalu pake bumbu “saka” (sakahayang, alias sesuka hati); koq aga kurang pas ya. beberapa resep menunjukkan tanpa air kelapa, ah kurang sip :D. jadi saya kumpulkan sekarang khusus yang menggunakan air kelapa saja nih. mudah2an cocok.

Versi I 

Sumber: Fatmah Bahalwan

Bahan :
10 pt tahu
10 pt tempe
1 ltr air kelapa
200 gr gula merah sisir
5 sdm air asam jawa
5 bh bawang merah iris
3 bh bawang putih iris
1 sdm ketumbar, ulek kasar
2 lbr daun salam

Cara Membuat :
1.     Taruh tahu dan tempe dalam panci, taburi dengan bahan lain. Masak hingga bumbu dan gula meresap. Angkat, tiriskan.
2.     Panaskan minyak sayur dalam wajan, goreng tempe dan tahu hingga kecoklatan. Angkat.


Versi II

Sumber: Tabloid Nova

Bahan:
10 bh tahu putih ukuran kecil
500 gr tempe, potong sesuai ukuran tahu
200 gr gula merah, iris halus
3 lbr daun salam
1 sdt asam
700 ml air kelapa

Haluskan:
1 sdt ketumbar sangrai
5 bh bawang merah
3 siung bawang putih
2 cm lengkuas
1 sdm garam

Cara membuat:
1. Taruh dalam wajan bumbu halus, tahu, tempe, gula merah, daun salam asam, dan air kelapa.
2. Jerangkan di atas kompor, masak sampai mendidih lalu kecilkan api.
Masak sambil sekali-sekali diaduk agar bumbu tercampur rata dan air habis, angkat dan sisihkan.
3. Goreng tahu dan tempe dalam minyak panas sebentar saja, angkat dan tiriskan.


Versi II

Sumber: Inong Haris

Bahan-bahan:
Tempe, potong-potong
Tahu, potong-potong
Air kelapa dari 1 bh kelapa
100 gr gula merah
2 sdm kecap manis *)
1 cm lengkuas, memarkan
2 lembar daun salam
minyak goreng

Bumbu, haluskan:
6 butir bawang merah
3 siung bawang putih
1 sdt ketumbar
½ sdt jintan
1 sdt garam

Cara membuat:
Taruh potongan tempe dan tahu dalam panci. Tuangi air kelapa, bumbu halus, dan bumbu lainnya.
Masak hingga air habis. Angkat.Bisa langsung disajikan.
Goreng tempe dan tahu dalam minyak panas di atas api sedang hingga kecokelatan.
Angkat dan tiriskan.
Sajikan hangat.

 

siap nge bacem? siiiiappp 😉

 

Bimbel, or Not Bimbel

December 19, 2011

that’s the question..

Lihat-lihat lagi blog WP ini, teringat karena ditulis pada masa-masa kaka Rifqi menghadap ujian SD, UASBN namanya, UN tingkat SD yang pertama kali diberlakukan di Indonesia, dilengkapi dengan Lembar Jawab Komputer (LJK) yang dicontreng, bukan dihitamkan oleh pensil. Meragukan, mengkhawatirkan ! Heboh rasanya saat itu :D.

Teringat dulu, terpikir apa perlu ya bimbel dalam menghadapi UN itu. Soalnya Rifqi kan sekolahnya di SD Swasta, berangkali ada materi-materi yang terlewatkan dari standar UN. Tapi koq aneh ya, anak SD saja sudah bimbel 😀 :D. Jadi saya memutuskan tidak membimbelkan kaka Rifqi dan toh lolos juga UN nya.

Sekarang dia sudah kelas X, atau kelas 1 SMA. waktu kelas IX atau kelas 3 SMP, saya sertakan bimbel agar bisa menghadapi UN tingkat SMP; tujuannya supaya lebih terlatih dan terampil menghadapi soal-soal, Ya, buat saya, bimbel itu untuk pengayaan, latihan soal. Materi latihan sudah disusun sedemikian, sehingga anak mencapai tingkat keterampilan tertentu pada tahapan tertentu. Jangan remehkan metode latihan, buat saya latihan soal adalah setengah dari proses pembelajaran, sisanya adalah pemahaman materi. Jadi bagaimana mau terampil, kalo tidak paham materi dan boro-boro berlatih soal. Tapi asalkan latihan tersebut disertai feedback ya, agar tahu letak kesalahan dan ketidakpahaman. Masalahnya memang banyak yang terpaku pada latihan soal, jadi semacam menghapalkan soal tetapi tidak ke core materinya. Anak jadi terampil menyelesaikan soal, tetapi sebenarnya tidak paham, Kalo sudah begini, yang salah siapanya? Bimbel, sekolah, anak, ortu? atau kurikulum aja deh yang salah 😛 *dicemberutin pembuat kurikulum nih he he

Nah sekarang, di kelas X semester I ini, ternyata banyak teman-temannya yang sudah mengikuti Bimbel. duh anak baru masuk sekolah, sudah dibimbelkan. Baru saja menyesuaikan diri dengan lingkungan yang serba baru. Ga cukupkan materi dari sekolah? Ga cukup kah tugas dari sekolah? Oh, atau bimbel itu justru untuk membantu memahami pelajaran sekolah dan membantu mengerjakan soal-soal dan tugas ya. Saya lihat, banyak bimbel yang menawarkan “kelas private” dengan harga yang lebih mahal dari SPP SMA yang sudah SBI ini (Sekolah Berstandar Internasional, bukan Berbiaya Internasional ya :D) SPP rasanya sudah mahal, tapi bimbel yang berjamuran ternyata lebih mahal lagi ! Barangkali memang sudah kebutuhan anak? Ditambah lagi adanya penjurusan, IPA – IPS, semakin membuat gencar ibu-ibu membimbelkan putra putrinya. lho koq ibu2nya ya? Soalnya kelihatannya anak-anaknya sih asyik2 dengan kegiatan di luar pembelajaran he he.. anak SMA gitu loh, you know lahh. Dan kenapa harus sampai bimbel ya, apa anak-anak ga bisa belajar bersama saja? atau pengayaan bersama guru-gurunya? Ada sih responsi dengan guru, tapi anak-anak malah ga memanfaatkannya karena cenderung tetap tidak paham 😛

Saya sendiri masih galau, bimbel atau tidak perlu ya. Saya sendiri udah ga kuat menemaninya belajar fisika biologi dll 😀 dan melihat anak-anak orang ikut bimbel, koq jadi was-was, ya ga sih? 😀 Jadi, bimbel or not bimbel nih..

Masih tentang anak ketiga, ada yang bilang kalo anak pertama maka orang tua akan hapal detail-detailnya misalkan berat badan, tinggi badan, kata-kata pertama dll. Kalo anak ketiga ditanya berapa berat badannya, maka orang tua tidak ingat :D. Tapi tidak berlaku untuk saya. Barangkali karena anak-anak saya terpaut jauh satu sama lain, 7th dan 7th, maka semuanya bagi saya adalah anak pertama lagi, sangat spesial rasanya. Jadi semuanya saya pantau segala sesuatunya sesuai standar saya, misal ASI ya harus dua tahun full.

Namun, ada hal yang membuat malas banget memantaunya, bukan malas sih tapi cenderung desperado. Itu terjadi sejak RIfqa putri kedua saya, apalagi tak lain dan tak bukan adalah berat badannya (yang ga naik2 :D). Rifqa kurus, mungil, imut; seimut-imutnya. Ya catatan tentang perkembangan dia sih ada, saya catat di multiply saya misalnya. Berat badan saya pantau dengan Growth Chart yang saya download sendiri dari situsnys, tapi ya malas; abis titik-titik grafiknya melandai begitu sih 😦

Besar harapan ketika anak ketiga Riefa lahir dengan berat jauh di atas berat lahir Rifqa, 3,12kg sementara Rifqa hanya 2,440. Tapi ternyata struktur tulang Riefa sama kecilnya dengan Rifqa, jadi ketika menumbuh seperti sekarang, menjadi imut dan mungil. De Javu rasanya, mirip punya mini-me nya Rifqa, punya dua Rifqa! Sampai sekarang, 15bulan, baby Riefa berberat badan 8.3kg saja, 3kali berat lahirpun belum :D. makanya, males deh isi Growth Chartnya. titik-titik yang landai.

Barangkali yang butuh growth chart, bisa diambil di situsnya CDC, free buat di download. Yah meskipun berat badan anak kita tidak sesuai  milestones yang ditargetan orang-orang kesehatan itu, kita bisa manfaatkan growth chart ini untuk dokumentasi kesehatan anak-anak kita. juga melihat apakah sudah cukup baik atau stagnan, juga perbandingan terhadap tinggi badan dan lingkar kepala.

Dulu, rifqa saya gunakan growth chart dengan percentile 3rd, untuk anak-anak kurus hehehe, itu pun dia tetap ada di bawah grafiknya :((. pun sekarang juga, usia 8 thn beratnya 20kg, persis keponakan saya yang usianya 2th :D. haiyah, punya anak-anak koq kurus-kurus, apa ga dikasi makan ya.. sementara itu ibunya besar dan gemuk (meski dari hitungan Body Mass Index – BMI, saya masih masuk ideal – ehm), tapi dari ukuran celana, saya merasa gemuk !

Malasnya deh menggunakan growth chart ini, untung ga ada growth chart buat ibu-ibu hihihihi

Barangkali mau coba menggunakannya, silahkan klik di sini: Growth Chart

Anak ketiga

December 19, 2011

Ada yang bilang, punya anak ketiga berarti sudah berpengalaman dan karena itu lebih santai saja. Ya, barangkali memang rasanya lebih mengalir, feel free. Tidak lebay dalam menghadapi persoalan seputar anak, tidak sotoy dalam beperilaku terkait tumbuh kembang;  tetapi bukan berarti santai. Ribet sih tetep, jungkir balik sih iya, dan tetap berharap menjadikan anak seoptimal mungkin. Yang utamanya adalah anak itu harus bahagia dan bahagia adalah sesuai dirinya, bukan sesuai kita selaku orang tua.

Ada satu hal yang tetap membuat saya sentimentil dalam menjalani hari-hari bersama anak ketiga ini. Dengan perbedaan usia kami 39th (!) saya merasa hanya memiliki waktu yang sedikit untuk hidup bersamanya. ketika dia 20th, artinya saya sudah 59th (!!!), ketika dia berusia 30th (dan barangkali baru menyelesaikan sekolahnya sebagai sub spesialis bayi-bayi baru lahir – eh?), saya sudah berusia 69th (!!!!!). masih ada kah saya? masih hidupkah saya? masih diberi kesempatankah untuk hidup dan menemaninya melahirkan bayi-bayinya? (aih).

makanya, saya pikir punya anak itu memang lebih baik semuda mungkin, agar waktu yang dilewatkan bersama, bisa selama mungkin. meski barangkali tidak akan mudah, karena kompleksitas persoalan ibu muda akan dihadapi, meski ibu tua juga tidak berarti bebas persoalan :D. lagian, ada orang yang bertambah usia, tidak berarti bertambah  dewasa dalam memandangi kehidupan. memang, usia bukan patokan, tapi buat saya  angka-angka itu tampak mengerikan (39, 59, 79… ) *hiiii

Angka-angka yang terus berjalan tak akan ma mpu dibendung. satu-satunya cara adalah membuatnya berkualitas. Umur di atas angka boleh berlanjut, tetapi umur tubuh dan jiwa bisa kita pelihara sedemikian rupa agar berjalan sedemikian lambatnya, agar terjaga sampai anak-anak tumbuh dewasa; esp. anak ketiga ini :).

*luv u son, luv u girls; mommy will be with u, ever after.

karena itu, mari kita mulai langkah  hidup berkualitas. langkah pertama adalah jagalah hati,  kedua adalah jagalah kesehatan 😛 mari hidup dengan hati yang sehat 😀 (maksudnya ikutan imunisasi hepatitis, gitu kali ya? :P)