Sekolah Salman Al Farisi

April 1, 2017

Di Sabuga kemarin, di kala jeda, unit angklung memainkan lagu “You’ll be in my heart” 🎢🎢. Itu OST film Tarzan, tahun 1999. Saya pun tersenyum, itu “lagunya si kakak” 😍. Iyya, usianya baru 3th kala itu, dan suka sekali lagu (dan gamenya 😑). Mother-son-moment antara Tarzan dan ibunya (yang Gorila), buat saya mengesankan. (Dan tetiba saya jadi merasa menjadi Gorilla 😳).

mother-moments-tarzan-kala-and-tarzan

Ingatan saya mundur ke belakang ketika kakak masih kecil.. dia saya carikan sekolah terbaik, agar saya punya partner dalam membesarkannya πŸ˜‡. Sebetulnya dia sudah kelas 1 SD, sayang sekolahnya menjadi tidak kondusif, pindah menjadi jauh dari rumah dan semakin menjauh dari rute kerja saya. Saya harus pindahkan. Saya lalu lakukan survey sekolah, dengan mendatangi satu persatu sekolah yang masuk area pilihan. Dan saya langsung jatuh hati pada satu sekolah pada langkah jejak kaki saya yang pertama di sana πŸ’˜πŸ’˜πŸ’˜.

Di sana pada saat jam istirahat, semua anak sedang bermain. Tertawa, gembira, semangat. Itu sekolah fullday, saya pikir anaknya akan banyak belajar dan tampak serius. Ternyata mereka tetap anak-anak spt pada umumnya, yang selalu semangat.. main πŸ˜„πŸ˜„.

Saya pun melewati segerombolan anak yang sedang bermain di teras, guru lalu lalang menyapa dan tertawa bersama mereka. Saya memandang sekitarnya, bangunan sekolah itu lucu sekali, berupa bilik-bilik,dan areanya tercluster antara anak kelas rendah dan anak kelas yang lebih tinggi. Saya pun memutuskan untuk memasukkan kakak ke sini, tanpa sempat bertanya segala sesuatunya. Sekolah itu bernama Salman Al Farisi.

Sayang sekali, waktu itu saya sedang tidak punya uang (sebenernya tinggal minta saja pada mamah papih, atau kakak-kakak, pasti dibantu; tapi kan saya ceritanya sedang meneggakkan kepala mencoba mandiri dalam semua aspek, termasuk keuangan 😝). biaya masuknya lumayan, kalo tidak salah 5jt, dengan biaya spp harian kalo tidak salah 300rb. Jumlah lumayan untuk tahun 2001-2002 dimana honor pokok saya selaku asisten di proyek dosen LPM ITB adalah 800rb [penghasilan tidak kena pajak lho 😎].

Kegalauan lain, mereka tidak menerima pindahan kelas 2; terutama di usia kakak yang terlalu muda. Disarankan untuk kelas 1 lagi saja, ikut test penerimaan siswa baru. Duh sayang sekali kalo harus turun 1 tahun πŸ˜”.

Teringat nasihat para psikolog dan pakar pendidikan, anak itu jangan diburu-buru ketika dia belum matang 😣😣. Nanti ke depannya [berpotensi] tidak akan optimal. Mempertimbangkan segala sesuatunya, akhirnya saya mendaftarkan kakak di kelas 1 lagi. Tak apa mundur setahun, malah jadi sesuai usianya.

Jadi tinggal masalah keuangannya πŸ˜–

Saya pun menghadap yayasan, meminta keringanan. Ternyata bisa! Saya bayar 2x untuk biaya masuk tersebut. Dan bahagialah saya, memberikan sekolah yang bagus sekali untuk anakπŸ’ƒπŸ’ƒπŸ’ƒ.

Perjalanan berikutnya tidak mulus, memang masa-masa itu adalah tahun sulit (dampak krismon 98 juga ya). Keterbatasan saya sebagai ibu, ketidakpahaman saya terhadap pendidikan dan perkembangan anak [unik]. Alhamdulillahnya, saya berpartner dengan sekolah yang sangat mendukung. Tidak ada penolakan, tidak ada judgement. Semua diatasi bersama, demi kebaikan anak-anak.

Kala itu kepala sekolahnya langsung turut berdiskusi, tak pernah saya lupakan, pak Asep Kusnawan. Pak Askus sempat bilang, ‘Rifqi itu sangat pintar, tidak bisa dibujuk seperti membujuk anak lainnya’. Ha, kakak memang luar biasa πŸƒπŸƒ.

kakak sd

Kakak, baris kedua dengan seragam olah raga, keempat dari kanan. Foto dari Bu Diah Utami Lestari

Adakalanya ketika anak ‘istimewa’ (di sekolah), seorang ibu itu akan defensif dan cenderung menyalahkan sekitar. Kalo saya, tipikal yang akan menyalahkan diri sendiri tanpa solusi πŸ˜ͺπŸ˜ͺ. Apalagi saya memang tahu bahwa kesalahan ada di pundak saya πŸ˜­πŸ˜­ . Tapi di sekolah ini yang saya terima adalah bantuan dan encourage; semua jadi terasa mudah. Sampai kakak sebesar ini, dengan footprint-nya yang membanggakan berikut karakternya yang tenang dan berbahagia. Ini karena adanya penerimaan (keunikannya) dari berbagi pihak, terutama pihak sekolah. Acceptance adalah kuntji.

Alhamdulillah. WhatsApp Image 2017-03-17 at 13.43.47

Kakak sudah besar, lebih tinggi dari saya πŸ’•πŸ’•

Ingatan saya kembali lagi ke Sabuga, yah kakak memang tidak kuliah di sini. Barangkali saya tidak akan jadi ortu yang berbangga atas toga dan kalung ganesha. Tapi tidak apa. Melihat kakak seperti sekarang, dengan kematangan dan kasih sayangnya pada sesama. Itu jauh membanggakan. Priceless! Bukan cap gadjah yang saya butuhkan, tapi doa dia selalu di akhir hayat saya nanti. Insya Allah ya kakak.

Karena itu, ucapan terima kasih tak pernah saya hentikan, kepada guru-guru masa kecil kakak di Salman Al farishi. Mereka lah partner yang luar biasa membantu terutama juga dari sisi pembentukan akhlak. Sepenuh hati mereka bersama ananda seharian, di kala orang tua terpaksa harus di luar sana. Mereka orang tua kedua para ananda.

Pesan saya kepada kakak dan teman-temannya, jangan lupakan guru-guru ya. Doakan yang terbaik selalu untuk mereka. Di kala susah dan senang.

— Tulisan di kala pilu melanda, teriring doa terbaik untuk para guru.

You will be in my heart

 

2 Responses to “Sekolah Salman Al Farisi”

  1. batikmania Says:

    Terharu-biru dengan masa itu, saat bertemu dengan rombongan anak-anak kelas 1. Tantangan untuk masuk ke dunia mereka untuk kemudian mengambil hati mereka sehingga senang hati mencari ilmu tanpa melupakan dunia bermain mereka. Senang bisa jadi sedikit jejak dalam perjalanan panjang mereka menuju kedewasaan. Sukses & berkah selalu yaa.


Leave a comment